Transfusi darah adalah prosedur yang menyelamatkan nyawa, khususnya pada kondisi gawat darurat. Transfusi juga dapat dilakukan dengan segera dan aman serta telah terbukti memberikan pemulihan pasien yang lebih cepat. Akan tetapi, setiap kantung darah yang diberikan kepada pasien memiliki risiko memberikan reaksi Transfusi.
Praktik kedokteran saat ini menggunakan banyak produk darah seperti whole blood, packed red cell, trombosit, dan fresh frozen plasma, keseluruhan secara spesifik digunakan sesuai dengan indikasi dan kebutuhan pasien.
Setiap kantung darah yang ditransfusikan, apapun jenisnya, memiliki risiko mengalami reaksi terkait dengan Transfusi. Risiko ini dapat bersifat ringan atau bahkan hingga mengancam jiwa. Setiap klinisi harus mengingat risiko ini setiap kali melakukan prosedur Transfusi kepada pasien.
Transfusi darah telah berkembang menjadi cabang spepesialisasi tersendiri dalam dunia kedokteran. Tantangan yang dihadapi bukan hanya sekedar memutuskan kapan harus melakukan Transfusi darah tapi juga berapa banyak darah yang harus diberikan hingga kapan Transfusi darah harus dihentikan.
Patofisiologi Reaksi Transfusi Darah
Komplikasi yang terkait dengan Transfusi darah dapat berupa: reaksi Transfusi, komplikasi non imunologi, dan transmisi penyakit infeksi.
Hipotermia (Transfusi cepat komponen darah beku atau dingin)
Hiperkalemia (leakage yang berasal dari sel eritrosit yang tersimpan)
Hipokalsemia (penggunaan sitrat untuk menyimpan produk darah dapat mengikat kalsium dalam plasma)
Koagulopati (terjadi karena kalsium berikatan dengan sitrat, jalur koagualsi tidak dapat berjalan)
Haemosiderosis (terjadi sebagai akibat overload zat besi dari sel darah merah yang diTransfusikan, kelebihan zat besi yang tersimpan pada organ penting. Biasanya muncul pada pasien yang menerima Transfusi darah berulang)
Transfusi darah juga dapat menjadi rute penyebaran berbagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen. Infeksi yang berisiko ditransmisikan melalui Transfusi darah antara lain:
Malaria
Penyakit Chagas
Babesiosis
Hepatitis B dan C
HIV
Infeksi bakteri, pada umumnya disebabkan oleh bakteri Gram negatif seperti Escherichia, Yersinia, Pseudomonas, dan lain-lain
Reaksi Transfusi darah terjadi karena salah satu dari dua mekanisme yang mungkin menyebabkan reaksi imun atau reaksi non imun. Reaksi imun membutuhkan interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi non imun membutuhkan pencetuh dari karakteristik psikokimia pada darah donor atau resipien (penerima).
Reaksi Transfusi juga dapat diklasifikasikan sebagai reaksi:
Dasar dari seluruh jenis reaksi Transfusi, baik onset akut atau onset lambat, disebabkan oleh respons sistem imun donor dan resipien. Reaksi hemolitik dapat terjadi karena golongan darah yang tidak sesuai. Sementara presensitisasi atau atopi dapat menyebabkan reaksi Transfusi alergik.
Beberapa kelompok pasien cenderung lebih sering mengalami reaksi Transfusi antara lain adalah:
Wanita hamil
Wanita multipara
Pasien yang sering menerima Transfusi darah seperti pada pasien gagal ginjal atau anemia hemolitik berat
Reaksi Transfusi hemolitik dapat bersifat akut atau segera (dalam 24 jam) atau tertunda (lambat) lebih dari 24 jam dalam 3-10 hari. Antibodi yang tereksitasi pada darah penerima melawan antigen sel darah merah pendonor merupakan penyebab utama. Paling sering terjadi karena ketidaksesuaian golongan ABO atau pada wanita multipara yang sebelumnya telah mengalami eksitasi sebelumnya. Presentasi klnis dapat dramatik dan meliputi demam disertai menggigil, pingsan, dada menyesak, nyeri dada atau abdomen, takikardia, takipneua, hipotensi, oliguria, dan/atau hematuria. Akan tetapi, insiden reaksi ini sudah sangat jarang ditemukan pada masa kini.
Reaksi Transfusi alergik memiliki rentang dari urtikaria ringan hingga edema laring fatal atau bahkan syok anafilaktik. Pembentukan antibodi sebelumnya pada darah penerima pada berbagai protein plasma darah pendonor atau muncunya anti-IgA pada darah penerima akan mencetuskan reaksi ini. Namun, reaksi ini juga jarang terjadi.
Reaksi Transfusi lainnya adalah jenis reaksi febril non hemolitik (febrile non haemolytic reaction) yang terjadi karena penerima merespon antigen sel darah putih pendonor. Reaksi ini sangat sering ditemukan dan pada umumnya bersifat ringan.
Manifestasi Klinis Khusus
Terdapat dua kondisi unik yang berhubungan dengan raksi Transfusi darah yaitu:
Purpura pascaTransfusi (PTP) merupakan trombositopenia signifikan yang terjadi sekitar 7-10 hari pasca pemberian konsentrat trombosit. Kondisi ini sangat jarang, sering ditemukan pada wanita multipara atau pasien yang telah mendapatkan beberapa Transfusi sebelumnya. Kondisi ini terjadi karena diproduksinya antibodi yang melaawan antigen permukaan trombosit yang disebut sebagai HPA-1a.
Transfusion-related acute lung injury ( TRALI ) merupakan edema pulmoner non kardiogenik akut/segera, kondisi ini terjadi karena neurofil terperangkap pada sirkulasi pulmoner. Lagi-lagi lebih sering terjadi pada wanita multipara dengan antibodi anti-HLA yang banyak (imun TRALI). Non imun TRALI dapat terjadi ketika ditemukan ketiadaan antibodi plasma donor, tapi terdapat respons terhadap berbagai produk lipid reaktif pada membran sel donor. Kondisi ini juga jarang ditemukan dan biasanya sembuh dengan sendirinya (self-limiting).
Tatalaksana dan Pencegahan Reaksi Transfusi Darah
Reaksi Transfusi hemolitik harus ditatalaksana secara agresif. Transfusi harus segera dihentikan. Antipiretik, diuresis dengan NaCl 0,9% disertai loop diuretik, dan monitorik tanda-tanda vital adalah hal penting yang harus dilakukan. Urine output yang adekuat (80-100 cc/jam) merupakan tanda prognostik yang baik. Pencegahan reaksi ini belum ditemukan. Akan tetapi, uji silang yang baik dan penandaan produk darah dari bank darah serta produk darah diberikan pada peneima yang paling tepat merupakan langkah yang paling efektif untuk mencegah reaksi Transfusi. Perlu juga mengkonfirmasi klinis terhadap jumlah dan jenis produk darah yang akan diberikan.
Reaksi alergik dapat dicegah dan ditatalaksana dengan pemberian antihistamin berupa dipenhidramin baik oral atau parenteral. Pada kondisi yang serius, dapat diberikan adrenalin subkutan 0,1-0,5 mg dan/atau deksametason parenteral.
Reaksi demam tipe non hemolitik dapat dengan mudah ditatalaksana dengan pemberian antipiretik
Purpura pasca Transfusi harus ditatalaksana dengan pemberian imunoglobulin intravena atau plasmafaresis. Transfusi trombosit sebaliknya dihindari pada kondisi ini karena dapat menyebabkan perburukan
TRALI dapat ditatalaksana dengan pemberian ventilator untuk mendukung pernapasan dengan pengukuran parameter pernapasan dan biasanya akan sembuh dalam waktu tertentu.
Wallahu A’lam Bishawab
Daftar Pustaka
Galel SA, et al. Transfusion medicine. In: Greer JP, editor. Wintrobe’s clinical hematology, vol. 1. 12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. Part III, Chapter 23.
Butch SH, Davenport RD, Cooling L. Blood transfusion policies and standard practices. 2004. http://www.pathology.med.umich.edu/bloodbank/manual/bb_pref/index.html . Last accessed on 26 Mar 2015.
Choat JD, Maitta RW, Tormey CA, et al. Chapter 120. Transfusion reactions to blood and cell therapy products. In: Hoffman R, Benz Jr EJ, Silberstein LE, Heslop HE, Weitz JI, editors. Hematology: basic principles and practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.
Dr. Rifan Eka Putra Nasution, CPS., CTPS. Lahir di Aek Kanopan, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, 29 Oktober 1992. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di kota kelahiran lalu menyelesaikan pendidikan tingginya pada Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Dr. Rifan mendapatkan medali Emas pada Olimpiade Kedokteran Regional Sumatera Pertama untuk cabang Kardiovaskular-Respirologi dan menghantarkan dirinya menjadi Mahasiswa Berprestasi Universitas Syiah Kuala pada tahun 2013. Pada tahun 2014, ia mendapatkan penghargaan Mahasiswa Kedokteran Berprestasi Se-Sumatera dari ISMKI Wilayah I. Beliau juga menjadi Peserta Terbaik Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan 4 Tahun 2024 di Pusat Pelatihan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bukittinggi, Sumatera Barat. Beliau juga aktif menulis di Media Online dan Situs Kedokteran dan Kesehatan lainnya dan juga memiliki ketertarikan terkait proses pembelajaran serta ilmu komunikasi terutama terkait dengan public speaking.