Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dunia maya (internet) juga diikuti dengan perkembangan sosial media yang cukup besar. Perkembangan ini juga berdampak terhadap penggunaan sosial media bagi dokter. Ada dampak baik dan ada pula dampak buruk.
Pada artikel ini saya akan memberikan gambaran apa itu sosial media. Kemudian, Saya juga akan menjabarkan berbagai pandangan terkait kerugian pemanfaatan sosial media bagi seorang dokter.
Sosial media secara sederhana dapat diartikan sebagai media demokratisasi masif yang mempengaruhi kehidupan kita.
Bila zaman dahulu kita lebih sering mendapatkan berbagai informasi atau mendapatkan berbagai hiburan melalui televisi maka saat ini lebih banyak waktu yang kita habiskan untuk menonton youtube.
Begitu pula terkait dengan tulisan. Saat ini blog atau blogging lebih menjamur dibandingkan dengan media cetak tulisan berupa bukut dan lainnya.
Bila dahulu harus menyiarkan berita atau informasi melalui radio maka sekarang ada podcasts.
Dan bahkan sekarang banyak seminar khususnya di bidang kedokteran yang dilangsungkan secara online melalui media webbinar.
Dampaknya sebaran informasi-informasi tersebut menjangkau lebih banyak orang dibandingkan dengan teknik-teknik pada masa lampau.
Contoh sederhana, website tentang hidup sehat atau kedokteran di Indonesia seperti Alodokter, Go Dok, Halosehat, dan lain sebagainya mungkin hanya memiliki sekitar puluhan hingga ratusan konten kreator tapi konten yang dibuat dapat menjangkau hingga jutaan konsumen lainnya.
Bahkan saat ini, terdapat cukup banyak konten kreator (video, tulisan, gambar, dan konten lainnya). Bahkan, konsumen konten itu sendiri dapat berperan sebagai konten kreator juga melalui beberapa mekanisme seperti:
Kondisi ini mengakibatkan interaksi yang masif akan pertukaran informasi.
Hal ini lah yang memunculkan sisi buruk dan sisi baik dari sosial media bagi seorang dokter.
Pertama, mari kita bahas mengenai sisi buruk sosial media bagi seorang dokter.
Setidaknya terdapat 4 topik utama yang terkait dengan sisi buruk sosial media bagi seorang dokter. Topik tersebut adalah:
Mari kita bahas satu per satu.
Privasi dapat pula disebut sebagai kerahasiaan pribadi. Secara definisi kerahasiaan pribadi ini berarti:
“Kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka”
Privasi ini dapat menjadi masalah dan merupakan salah satu sisi buruk dari sosial media bagi seorang dokter.
Mengapa demikian, yang pertama, seorang dokter telah mengucapkan sumpah bahwa:
“Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya”.
Dan diperjelas melalui Kode Etik Kedokter Indonesia (KODEKI) pasal 12 yang berbunyi:
”Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”.
Kewajiban dokter ini disebut pula sebagai kewajiban memegang teguh rahasia jabatan yang mempunyai aspek hukum dan tidak bersifat mutlak.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat kasus yang menimpa dr. Alexandra Thran di Amerika Serikat.
Alexandra Thran merupakan seorang dokter pada Westerly Hospital di Rhode Island. Dia secara tidak sengaja melanggar rahasia jabatannya dengan mengungkapkan rincian cedera (trauma) seorang pasien di Facebook.
Dia sama sekali tidak pernah menggungkapkan nama pasien namun deskripsinya yang mendetail terhadap cedera yang dialami pasien tersebut serta banyaknya jumlah share status Facebook yang Ia tulis, membuat orang sekitar pasien mengetahui siapa sosok pasien yang mengalami cedera tersebut.
Dokter ini kemudian dipecat dari pekerjaannya pada rumah sakit tersebut, didenda, menjalani pendidikan ulang, dan harus menjalani ujian kompetensi ulang pula.
Bila kita melakukan pencarian dengan kata kunci dokter, facebook, dan tuntutan maka belum ada kasus sejenis di Indonesia.
Meskipun demikian, sebaiknya dokter menghindari untuk tidak menuliskan terlalu detail deskripsi pasien yang sedang di rawat di media sosial karena bisa saja status itu menjadi tuntutan atas pelanggaran terhadap kewajiban simpan rahasia kedokteran.
Sosial media dapat kita analogikan sebagai “hot mic”.
Sebab Anda tidak akan tahu siapa saja yang akan melihat status sosial media Anda akan selalu ada jejak digitalnya.
Selanjutnya kita akan membahas topik yang kedua yaitu adiksi terhadap media sosial.
Selain zat adiktif yang dikenal dapat menimbulkan efek kecanduan, sosial media bagi dokter juga dapat memunculkan efek kecanduan yang sama.
Penelitian dari Shakya HB dan Christakis NA yang melakukan penelitian terhadap 5.208 orang menemukan bahwa semakin sering seseorang menggunakan sosial media maka semakin tidak bahagia dan tidak sehat orang tersebut.
Like, share, dan updated status yang semakin sering dilakukan maka akan memunculkan efek adiktif secara perlahan-lahan.
Marino C et al melakukan meta analisis terkait masalah penggunaan Facebook pada 13.929 orang dari 23 penelitian independen menemukan hubungan antara kecemasan dan depresi dengan penggunaan Facebook.
Beberapa diantaranya akan merasa senang bila status updated nya mendapatkan banyak likes dan share.
Kondisi inilah yang memunculkan keinginan untuk membuat status baru dengan harapan mendapatkan likes dan share yang cukup banyak juga untuk mendapatkan kebahagian semu. Sebab hasil penelitian di atas menyatakan sebaliknya.
Selanjutnya kita akan membahas efek negatif sosial media bagi dokter yang berikutnya yaitu masalah kelompok atau tribalisme.
Media sosial dapat merubah pemikiran siapa pun berdasarkan status-status yang berisi tentang pernyataan-pernyataan tertentu.
Contoh yang paling nyata adalah ISIS.
Banyak dari anggotanya direkrut dari media sosial dan tidak tertutup kemungkinan seorang dokter dapat pula menjadi pengikutnya.
Begitu pula dengan beberapa pemikiran-pemikiran menyimpang lainnya. Seperti kelompok-kelompok dengan status media sosial yang sering kali menyindir atau menista agama.
Bila saya tuliskan sebelumnya terkait dengan googling menggunakan kata kunci dokter, facebook, dan tuntutan, belum terdapat tuntutan terkait privasi maka tuntutan yang telah didapatkan oleh beberapa orang dokter Indonesia adalah terkait dengan tribalisme.
Beberapa orang dokter dituntut karena menuliskan status di media sosial yang mengandung ujaran kebencian, penistaan agama. Semuanya muncul karena fanatisme yang muncul sebagai efek negatif sosial media.
Untuk masalah tribalisme ini maka kita juga harus mengetahui sedikit kisah tentang Andrew Jeremy Wakefield.
Andrew J. Wakefield merupakan mantan dokter dan aktivis anti vaksin. Gelar dokternya dicabut atas pelanggaran etika profesi dan penipuan.
Apa yang dilakukannya?
Pada tahun 1998, dia mempublikasikan jurnal yang berisikan tentang laporan penelitian “PALSU” terkait dengan hubungan antara pemberian vaksin polivalen MMR (measles, mumps, rubella) dan kemunculan autisme dan gangguan saluran pencernaan.
Dampaknya masih sangat dirasakan sampai saat ini. Hingga sekarang banyak sekali kelompok anti vaksin yang terus saja memposting hoax terkait dengan vaksin MR.
Efeknya adalah cakupan vaksin yang rendah dan akan munculnya outbreaks penyakit ini dikemudian hari. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat yang dijelaskan oleh gambar di bawah ini.
Mengapa hal semacam tribalisme ini dapat terjadi?
Sifat interaktif dan interpersonal dari banyak situs media sosial dapat membuat konten anti-vaksin yang diposting menjadi sangat kuat.
Sosial media memungkinkan individu minoritas (seperti kaum anti vaksin) termotivasi untuk berpotensi mengendalikan wacana dan, kadang-kadang, berkontribusi pada penyebaran misinformasi serta hoax.
Facebook sendiri merupakan sosial media yang menyebabkan dampak paling besar pertumbuhan kaum anti vaksin ini sendiri.
Penelitian Smith N dan Graham T pada tahun 2017 menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 6 halaman anti vaksin populer berbahasa Inggris di facebook. Sebagian besar peserta adalah perempuan. Meskipun jaringan anti-vaksin di Facebook memiliki lingkup yang besar dan global, sub-jaringan aktivitas komentarnya lebih mirip dunia kecil. Mereka menyimpulkan bahwa:
“Sosial media mungkin memiliki peran dalam menyebarkan ide-ide anti-vaksin dan membuat gerakan ini bertahan lama dalam skala global”.
Halaman-halaman Facebook tersebut rutin membuat status dengan gaya-gaya tulisan konspirasi untuk menambah jumlah kelompok mereka.
Tapi, pada dunia nyata, orang yang terang-terangan anti vaksin sangat jarang memunculkan dirinya di hadapan publik.
Mengapa demikian?
Sebab menemukan orang lain dengan pemikiran yang sama merupakan suatu hal sulit serta membutuhkan banyak usaha.
Tapi, Facebook dapat menghubungkan satu orang anti vaksin dengan orang lainnya dengan hanya satu dua ketukan mouse.
Tapi, sesungguhnya, inti masalah kaum anti vaksin dan tribalisme lainnya adalah sifat dasar manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kita akan selalu mencari informasi yang menegaskan keyakinan kita – bahkan jika keyakinan itu adalah omong kosong.
Selanjutnya mari kita selesaikan sisi negatif sosial media bagi dokter ini dengan membahas topik Permanensi.
Jejak digital merupakan satu hal yang sangat sulit untuk dihilangkan. Bisa saja seseorang menghapus status sosial media yang telah dibuatnya.
Tapi, apakah status tersebut sepenuhnya hilang?
Bila ada orang lain yang telah mengcapture status itu sebelumnya maka status itu akan menjadi permanen.
Jejak digital sangat sulit dihilangkan apalagi status yang dibuat memiliki suatu pemikiran yang kritis atau bertolak belakang dengan pendapat atau kepercayaan sebagian besar netizen lainnya.
Begitu pula dengan seorang dokter yang membuat status sosial media yang tidak sejalan atau sepemikiran dengan orang lain maka hati-hati status Anda akan selalu abadi.
Bahkan tangkapan gambar status Anda itu cukup untuk membuat Anda mendekam di hotel prodeo.
“Verba volant, scripta manent | spoken words fly away, written words remain”
Sosial media bagi dokter mungkin memiliki banyak manfaat namun tidak dapat dipungkiri Ia juga memiliki banyak sisi gelap.
Efek buruk media sosial bagi profesi mulia ini dapat memenjarakan Anda.
Bisa saja Anda terkekang secara fisik (dikucilkan oleh lingkungan sosial atau bahkan benar-benar dipenjara) atau terkurung secara pemikiran (tidak mendengar pendapat orang lain dan nalar-nalar logis seperti kelompok anti vaksin).
Kalau boleh saya meminjam pesan yang selalu disampaikan saat menjalani stase kepaniteran klinik di bagian bedah bahwa:
“Potong apa yang kau lihat dan lihat apa yang kau potong”.
Maka dalam bermedia sosial sebaiknya kita harus menerapkan prinsip yang sama.
Semoga teman sajawat dapat terhindar dari sisi gelap media sosial ini.
“Habis gelap terbitlah terang”.
Begitu pula artikel ini setelah pembahasan sisi buruk sosial media bagi dokter ini saya akan menulis lanjutan artikelnya tentang sisi baik sosial media bagi dokter.
Bila ada yang ingin diskusikan atau komentar terkait dengan sisi buruk sosial media bagi dokter maka dapat disampaikan pada kolom komentar di bawah ini.
Semoga bermanfaat.
[su_spoiler title=”Referensi“]
[/su_spoiler]