Saya mendapat amanah untuk mengisi pengajian rutin di pimpinan ranting Muhammadiyah Aek Kanopan Timur setiap bulan awal tahun 2025. Setelah berdiskusi dengan sekretaris ranting, maka kami memutuskan untuk menyampaikan topik utama tentang Thibbun Nabawi. Artikel ini khusus saya tulis untuk memaparkan lebih dalam tentang Pengobatan ala Rasulullah. Langkah pertama, mari kita pahami makna Thibbun Nabawi ini.
Thibbun Nabawi secara harfiah berarti “pengobatan ala Nabi”. Istilah ini merujuk pada metode pengobatan yang diajarkan atau dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. Thibbun Nabawi bukan sekadar pengobatan dengan bahan-bahan alami, tetapi juga mencakup aspek spiritual, psikologis, dan fisik. Rasulullah SAW bukanlah dokter, tetapi beliau memberikan petunjuk tentang kesehatan dan pengobatan yang bersumber dari wahyu Allah SWT.
Thibbun Nabawi pada dasarnya harus dipahami sebagai metode yang menggabungkan antara ilmu kedokteran dan ajaran Islam. Prinsipnya adalah bahwa segala penyakit ada obatnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu tepat untuk suatu penyakit, maka penyakit itu akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim)
Thibbun Nabawi berkembang seiring dengan penyebaran Islam. Pada masa Rasulullah SAW, pengobatan masih sederhana dan bersifat alami. Namun, prinsip-prinsip yang beliau ajarkan menjadi dasar bagi perkembangan ilmu kedokteran di dunia Islam.
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat dan tabib Muslim mulai mengembangkan metode pengobatan ini. Mereka menggabungkan antara petunjuk Nabi dengan ilmu kedokteran yang mereka pelajari dari peradaban lain, seperti Yunani, Persia, dan India. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Al-Razi (Rhazes) juga terinspirasi oleh prinsip-prinsip Thibbun Nabawi dalam karya-karya mereka.
Pada masa kejayaan Islam, Thibbun Nabawi menjadi bagian integral dari ilmu kedokteran. Banyak rumah sakit (bimaristan) didirikan di berbagai wilayah Islam, dan pengobatan ala Nabi dipraktikkan bersama dengan metode medis modern pada masa itu.
Kitab tentang Thibbun Nabawi pertama kali ditulis oleh para ulama dan ahli medis Muslim pada abad-abad awal Islam. Salah satu kitab paling terkenal dan dianggap sebagai rujukan utama dalam bidang ini adalah “Ath-Thibb An-Nabawi” yang ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691 H – 751 H / 1292 M – 1350 M). Beliau adalah seorang ulama, ahli tafsir, dan ahli fikih yang juga memiliki minat besar dalam bidang pengobatan.
Imam Ibnul Qayyim menulis kitab “Ath-Thibb An-Nabawi” sebagai upaya untuk mengumpulkan dan menjelaskan berbagai hadis serta petunjuk Rasulullah SAW tentang pengobatan. Kitab ini membahas berbagai aspek kesehatan, mulai dari pencegahan penyakit, pengobatan alami, hingga pentingnya menjaga keseimbangan antara tubuh, jiwa, dan spiritual.
Thibbun Nabawi mencakup berbagai jenis pengobatan, baik yang bersifat preventif (pencegahan) maupun kuratif (penyembuhan). Berikut beberapa jenis pengobatan yang diajarkan Rasulullah SAW:
Thibbun Nabawi dan kedokteran modern sering dianggap sebagai dua hal yang bertentangan. Padahal, keduanya bisa saling melengkapi. Berikut perbandingannya:
Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Sebagai umat Islam, kita bisa memadukan keduanya. Misalnya, menggunakan obat medis untuk pengobatan darurat, sambil mempraktikkan Thibbun Nabawi untuk menjaga kesehatan jangka panjang.
Berdasarkan uraian singkat di atas maka ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan terkait dengan pengobatan ala Rasulullah, antara lain:
Thibbun Nabawi adalah warisan berharga dari Rasulullah SAW yang menggabungkan antara ilmu pengobatan dan ajaran Islam. Meskipun sederhana, metode ini telah terbukti efektif dan relevan hingga saat ini. Namun, sebagai umat Islam, kita juga perlu bijak dalam mempraktikkannya. Thibbun Nabawi bukanlah pengganti kedokteran modern, tetapi pelengkap yang bisa membantu kita menjaga kesehatan secara holistik.