Intoksikasi adalah suatu kondisi yang umum ditemui pada unit gawat darurat. Pasien dengan paparan racun dan intoksikasi dapat datang dengan spektrum presentasi klinis dan masalah yang luas. Prinsip umum dapat digunakan sebagai acuan berpikir logis untuk mengobati sebagian besar kasus keracunan, sehingga potensi morbiditas dan mortalitas dapat dicegah. Hanya 5% dari total seluruh zat yang dapat menyebabkan keracunan memiliki antidotum spesifik. Sisanya, maka perawatan suportif umum merupakan pendekatan perawatan yang paling penting untuk pasien yang mengalami keracunan.
Manajemen efektif pasien dengan intoksikasi akut dapat disusun menjadi lima langkah sistematis sebagai berikut:
Resusitasi dan Stabilisasi Awal
Penilaian Risiko Intoksikasi
Mengurangi Absorpsi atau Membuang Toksin
Memberikan Antidotum
Perawatan Suportif
Resusitasi dan stabilisasi awal
Pasien dengan intoksikasi akut biasanya datang ke unit gawat darurat dengan spektrum keterlibatan multi organ yang luas. Sehingga keracunan dapat terlihat sebagai suatu trauma kimiawi atau suatu penyakit medis yang dinamis. Selanjutnya, pasien akan memburuk dalam beberapa menit hingga beberapa jam dari presentasi awal.
Fase inisial atau survei primer dilakukan dengan tujuan memberikan dukungan terhadap fungsi vital dan mengidentifikasi agen toksin jika memungkinkan.
Pada saat pasien datang ke IGD dengan keracunan, proritas utama adalah mempertahankan ABC (airway, breathing, dan circulation).
Hipoksia dan kompensasi jalanan napas harus dikenali karena merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kematian pada pasien dengan intoksikasi akut. Hipoksia dengan cepat akan menyebabkan kerusakan organ akhir dan henti jantung, dimana hiperkarbia akan mencetuskan vasodilatasi, asidosis respiratorik, dan penurunan kesadaran.
Jka pasien dengan penurunan kesadaran maka vertebra servikalisnya harus diimmobilisasi kecuali ketika penyebab trauma sudah diekslusikan.
Klinisi harus memberikan perhatian lebih pada pasien yang tidak mampu mempertahankan patensi jalan napas karena gangguan refleks protektif jalan napas karena pasien ini akan memiliki risiko aspirasi yang lebih tinggi karena vomitus yang diinduksi oleh toksin, bilas lambung yang tidak terproteksi dan penurunan fungsi sensoris.
Intubasi endotrakeal dibutuhkan jika terdapat distress sistem pernapasan atau gagal napas. Sianosis dan apnea biasanya adalah temuan yang terlambat. Meskipun demikian, penilaian gagal napas awal dengan analisa gas darah merupakan hal yang penting.
Patogenesis hipotensi bervariasi dan banyak melibatkan hipovolemia, depresi miokardial, aritmia jatung, dan vasodilatasi terinduksi toksi. Tatalaksana harus ditappering akan tetapi pada saat awal bolus kristaloid diindikasikan pada banyak situasi
Kewaspadaan terhadap toksin spesifik dan mekanisme yang menyebabkan hipotensi dapat membantu untuk menentukan vasopresor pada syok refrakter
Setelah resusitasi awal, semua pasien dengan penurunan fungsi sensoris harus mendapatkan cocktail berupa dekstrose, naloksone dan thiamin. Bgaimanapun, strategi ini tidak didukung secara baik oleh literatur, dan pemberian empiris cocktail coma masih dipertanyakan.
Banyak toksin dan sindrom kecanduan dapat menyebabkan kejang. Untuk kejang yang diinduksi toksin, agen benzodiazepin merupakan obat pilihan pertfosama. Jika benzodiazepin tidak efektif, maka dapat menggunakan barbiturat.
Tabel 2 obat yang dapat mengeyebabkan kejang (OTIS CAMPBELL)
Fenitoin tidak direkomendasikan pada pasien dengan intoksikasi berat karena sering tidak efektif dan dapat memperburuk toksistas pada beberapa agen
Propofol dosis tinggi dilaporkan berperan sebagai antikonvulsan dengan menurungkan baik pada daerah korteks maupun subkortek, tapi dalam dosis rendah, propofol bertindak sebagai prokonvulsan dengan menginhibisi subkorteks, yang menghasilkan pelepasan hipereksitabilitas normal pada korteks
Biasanya, piridoksin dibutuhkan untuk kejang yang disebabkan oleh isoniazid atau keracunan jamur
Pemeriksaan terhadap penyebab potensial gangguan kejang seperti perdarahan intrakranial atau infark berdasarkan radiografi otak juga dapat dipertimbangkan.
Evaluasi singkat dan terfokus harus dilakukan segera setalah dukungan hidup selesai dilakukan. Tujuan utamanya adalah untuk menentukan tingkat keparahan paparan toksik. Penilaian risiko dapat dilakukan baik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis
Ketika memeriksa pasien dengan intoksikasi maka pendekatan yang paling baik adalah:
Identifikasi alasan paparan (disengaja atau tidak disengaja)
Jenis zat yang terlibat (obat, herbal, racun)
Formulasi (segera, lepas lambat)
Dosis zat, jumlah zat yang dikonsumsi
Jenis Paparan (tertelan, terhirup, topikal, terkena mata)
Waktu paparan (akut atau kronik, berapa saat setelah paparan)
Berbagai zat lain yang kemunkinan tertelan secara bersamaan dan tingkat keparahan paparan
Meskipun anamnesis penting, anamnesis dapat tidak relevan atau dilakukan secara tidak lengkap pada pasien yang mengalami intoksikasi karena ingin bunuh diri; sehingga, riwayat intoksikasi lebih baik ditanyakan kepada angota keluarga, kerabat, teman atau orang yang melihat langsung atau dekat dengan pasien karena akan memberikan informasi yang lebih relevan untuk membantu dalam penganganan pasien dengan keinginan bunuh diri.
Riwayat pekerjaan dan hobi juga dibutuhkan untuk menilai apakah terdapat paparan zat kimia atau tidak
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan head to toe hanya dilakukan setelah pasien stabil
Sebagian besar kematian karena keracunan adalah disebabkan kompensasi sistem pernapasan. Perhatian khusus harus diberikan ketika melakukan evaluasi sistem pernapasan
Berdasarkan temua pemeriksaan fisik, juga dapat mengidentifikasi racun apa yang dikonsumsi oleh pasien. Pengenalan toksidrome spesifik (sekumpulan gejala dan tanda yang berhubungan dengan keracunan spesifik) sangat berguna dalam merawat pasien dengan paparan zat yang tidak diketahui tapi dapat tidak jelas pada berbagai kondisi lainnya seperti paparan lebih dari zat racun atau lebih dari satu toksidrome.
Gangguan status mental, takikardia, hipertensi, hiperrefleks, klonus, hipertermia
Pada kondisi tidak adanya presentasi klasik toksidrome, pasien intoksikasi dapat dibedakan menjadi kategori yang luas berdasarkan gangguan pada tanda vital (Tabel 1), temuan okular (Tabel 4), dan tingkat sensorik (Tabel 5). Pembagian ini sangat membantu untuk mengecilkan kemungkinan etiologi dan menentukan kelas obat atau toksin.
Tabel 4 Agen yang mempengarui ukuran pupil
Miosis (COPS)
Midriasis (AAAS)
Cholinergic, Clonidine
Antihistamin
Opiates, Organophosphates
Antidepresan
Phenothiazines, pilocarpine
Atropin
Sedative-hypnotics
Simpatomimetik
Tabel 5 Agen yang mempengaruhi fungsi sensorik
antidepresan
Cyanide
antihistamin
Karbon monoksida
Antipsikotik
Atropin
Etanol
Organofosfat
Barbiturat
Narkotik
Benzodiazepin
Litium
Untuk pendekatan klinis dalam Mengurangi Absorpsi atau Membuang Toksin, Memberikan Antidotum dan Perawatan Suportif dapat dilihat pada bagian II berikut: (Sedang dalam proses penyusunan)
Daftar Pustaka:
Albertson TE, Dawson A, de Latorre F, American Heart Association, International Liaison Committee on Resuscitation, et al. TOX-ACLS: toxicologic-oriented advanced cardiac life support. Ann Emerg Med. 2001;37(4 Suppl):S78–90.
Watson W, Rose R. Pharmacokinetics and toxicokinetics. In: Ford M, Delaney K, Ling L, Erickson T, editors. Clinical toxicology. Philadelphia: WB Saunders; 2001. p. 73–8.
Pillay VV. Current views on antidotal therapy in monitoring cases of poisoning and overdose. J Assoc Physicians India. 2008;56:881–92.
Erickson TB, Thompson TM, Lu JJ. The approach to the patient with an unknown overdose. Emerg Med Clin North Am. 2007;25(2):249–81.
Lawrence DT, Bechtel L, Walsh JP, Holstege CD. The evaluation and management of acute poisoning emergencies. Minerva Med. 2007;98(5):543–68.
Bledsoe BE. No more coma cocktails. Using science to dispel myths and improve patient care. JEMS. 2002;27(11):54–60.
Senthilkumaran S, Menezes RG, Balamurugan N, Thirumalaikolundusubramanian P. Prallethrin poisoning that taxes the brain. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2014;30:116–7.
Senthilkumaran S, Balamurugan N, Karthikeyan V. Seizures following propofol. J Gen Med Indian. 2008;19:12–4.
Karakilic E, Aksu NM, Akkucuk H, Babacan AD, Ataman DK. Do emergency physicians need to know defi nitive treatments? Analysis of patients hospitalised for poisoning. J Pak Med Assoc. 2013;63(2):165–8.
Dr. Rifan Eka Putra Nasution, CPS., CTPS. Lahir di Aek Kanopan, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, 29 Oktober 1992. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di kota kelahiran lalu menyelesaikan pendidikan tingginya pada Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Dr. Rifan mendapatkan medali Emas pada Olimpiade Kedokteran Regional Sumatera Pertama untuk cabang Kardiovaskular-Respirologi dan menghantarkan dirinya menjadi Mahasiswa Berprestasi Universitas Syiah Kuala pada tahun 2013. Pada tahun 2014, ia mendapatkan penghargaan Mahasiswa Kedokteran Berprestasi Se-Sumatera dari ISMKI Wilayah I. Beliau juga menjadi Peserta Terbaik Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan 4 Tahun 2024 di Pusat Pelatihan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Bukittinggi, Sumatera Barat. Beliau juga aktif menulis di Media Online dan Situs Kedokteran dan Kesehatan lainnya dan juga memiliki ketertarikan terkait proses pembelajaran serta ilmu komunikasi terutama terkait dengan public speaking.