Pasien dengan penyakit kronis pada umumnya akan mendapatkan polifarmasi. Pasien akan mengkonsumsi sekitar 5-6 jenis golongan obat berbeda setiap harinya. Kondisi ini akan cenderung memunculkan interaksi obat bahkan tidak jarang muncul interaksi obat yang berbahaya bahkan mematikan.
Interaksi obat meningkat karena volume konsumsi obat juga meningkat dari pada sebelumnya. Dua atau lebih obat yang saling berinteraksi dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan efektivitas obat yang dikonsumsi.
Kondisi ini bahkan dapat menimbulkan efek samping obat hingga menimbulkan kondisi yang berbahaya dan mengancam jiwa.
Interaksi obat yang berbahaya harus dipertimbangkan sebagai suatu kesalahan yang dapat dicegah.
Artikel ini menampilkan beberapa interaksi obat yang berbahaya. Contoh-contoh interaksi ini tidak urutkan berdasarkan frekuensi kejadian interaksi atau signifikansi klinisnya.
Setiap obat pada golongan statin memiliki risiko yang berbeda. Simvastatin merupakan obat yang paling mungkin berinteraksi dengan obat lainnya.
Obat yang memiliki risiko paling kecil pada golongan ini adalah pravastatin dan rosuvastatin.
Rhabdomiolisis, kondisi dimana otot mengalami kerusakan dan mengeluarkan pigmen mioglobin otot ke dalam darah serta dapat berujung kepada gagal ginjal kronis, merupakan salah satu kondisi yang muncul karena interaksi obat lain dengan golongan statin.
Rhabdomiolisis dapat terjadi pada monoterapi statin dosis tinggi. Risiko kondisi ini meningkat apabila statin digunakan bersamaan dengan golongan inhibitor CYP3A4.
Konsumsi statin dan inhibitor CYP3A4 secara bersamaan akan meningkatkan konsentrasi serum dari bentuk aktif simvastatin, lovastatin, dan atorvastatin.
Obat-obat yang paling mungkin berinteraksi dengan golongan statin antara lain:
Sebaiknya hindari konsumsi obat tersebut bersamaan dengan statin. Bila tidak dapat dihindari pemberian dosis obat jam terpisah kurang lebih selama 12 jam dapat meminimalkan risiko interaksi. Kondisi ini akan mencegah konsentrasi kedua obat meningkat secara bersamaan.
Pemberian klaritromisin bersama dengan CCB seperti amlodipin atau nifedipin dapat menyebabkan hipotensi dan gagal ginjal akut.
Interaksi obat yang berbahaya ini terjadi karena klaritromisin mempengaruhi efek CCB seperti nifedipin dengan menghambat metabolisme CYP3A4. Kondisi ini akan menyebabkan hipotensi yang apabila tidak di atasi berujung pada kematian.
Azitromisin merupakan obat pilihan dari golongan makrolid bila harus dikombinasikan dengan CCB.
Azitromisin tidak menghambat CYP3A4 sehingga tidak menimbulkan hipotensi.
Selain interaksi obat ini terdapat 82 interaksi obat lainnya yang telah dilaporkan terkait klaritromisin.
Kotrimoksazol (Trimetoprim/Sulfametoksazol) merupakan penyebab potensial hiperkalemia pada pasien lanjut usia. Kondisi hiperkalemia juga berpotensi terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronis.
Interaksi obat yang berbahaya ini dapat muncul terutama bila dikonsumsi bersamaan dengan anti hipertensi golongan inhibitor ACE dan angiotensin reseptor blocker.
Penggunaan kotrimoksazol cenderung meningkat. Komponen trimetoprim memiliki sifat seperti amilorida (diuretik hemat kalium) dan dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah bahkan ke tingkat yang mengancam jiwa.
Kematian mendadak telah dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi kotrimoksazol bersamaan dengan inhibitor ACE atau ARB.
NSAID merupakan salah satu golongan obat yang sering digunakan dan telah dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah. NSAID menghambang enzim (COX) -1 dan COX-2, yang merusak sintesis prostaglandin.
Prostaglandin yang dihambat akan meningkatkan tonus otot polos arteri dan menghasilkan efek terkait dengan dosis berupa natriuresis. Kondisi ini akan mengakibatkan retensi cairan.
Mekanisme interaksi obat ini mengakibatkan NSAID menurunkan efektivitas beberapa agen anti hipertensi lainnya seperti diuretik, inhibitor ACE dan ARB bila dikonsumsi secara bersamaan.
Sebagian besar obat golongan NSAID merupakan obat bebas terbatas sehingga pasien penderita hipertensi yang mengkonsumsi obat ini bersamaan dengan anti hipertensi dapat memperparah kondisi hipertensinya.
Indometasin, piroksikam, dan naproksen merupakan NSAID dengan efek interaksi pada anti hipertensi yang paling besar. Aspirin merupakan obat yang tidak meningkatkan tekanan darah bahkan pada penderita hipertensi.
Pemberian NSAID dikombinasikan dengan ARB atau inhibitor ACE dan diuretik juga telah terbukti meningkatkan risiko gagal ginjal akut sebesar 31%.
Penggunaan kombinasi ini juga meningkatkan risiko hipertensi resisten pada pasien hipertensi.
Hormon tiroid sangat umum dikonsmsi terutama pada penderita hipotiroid.
Beberapa obat yang sering dikonsmsi, termasuk penghambat pompa proton (PPI), statin, besi, kalsium, magnesium, raloxifene, dan estrogen, dapat mengganggu penyerapan hormon tiroid, menyebabkan pasien yang penyakitnya terkontrol dengan baik akan kembali mengembangkan hipotiroidisme.
Estrogen memiliki efek mengikat dan membutuhkan peningkatan dosis hormon tiroid.
Interaksi antara levothyroxine dan omeprazole pada pasien dengan gangguan sekresi asam lambung memerlukan peningkatan dosis tiroksin oral, yang menunjukkan bahwa sekresi asam lambung normal diperlukan untuk penyerapan tiroksin oral yang efektif.
Pasien dengan hipotiroidisme yang bersifat eutiroid dan pada pengobatan dengan levothyroxine mungkin memerlukan pemeriksaan fungsi tiroid setelah memulai konsumsi PPI, terutama jika gejala hipotiroid muncul.
Pada pasien dengan gangguan sekresi asam lambung mungkin memerlukan peningkatan dosis levothyroksine untuk menjaga kadar TSH dalam batas normal.
Pelabelan produk untuk levothyroxine merekomendasikan agar tidak diberikan bersamaan dengan antasida karena efek pengikatan kalsium dan magnesium pada antasida. Jika penggunaan bersamaan diperlukan, pemberian keduanya harus dipisahkan minimal 4 jam.
Pasien yang mengkonsumsi warfarin rutin sering disarankan untuk memilih paracetamol untuk analgesia karena obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dapat meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal.
Interaksi antara warfarin dan paracetamol tidak banyak yang mengetahui.
Banyak yang tidak mengetahui data substansial yang menunjukkan bahwa penggunaan paracetamol secara reguler meningkatkan INR.
Pasien yang mengkonsumsi warfarin harus dipantau dengan ketat, dan INR harus diperikasa 3-5 hari setelah pasien mulai mengkonsumsi paracetamol setiap hari.
Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan pada pemberian dosis paracetamol sesekali.
Oleh karena itu, ketika pasien yang mengkonsumsi warfarin mengalami lonjakan INR yang tidak dapat dijelaskan, perlu ditanyakan tentang konsumsi rutin parasetamol.
Daftar Pustaka: